UP-TO-DATE ARTIKELNYA

Dari Bus ke Bus : Sepenimpalan Tulisan Cak Sultan

Ada dua cara paling memungkinkan menempuh jarak Surabaya-Banyuwangi. Pertama, pesan travel, duduk manis, tertidur, dan terbangun setiba di rumah. Kedua, mengecer naik bus. Untuk cara terakhir, mesti rela berlompat dari bus ke bus. Rutenya begini; Juanda-Bungurasih, Bungurasih-Probolinggo, Probolinggo-Jember, dan Jember-Banyuwangi. Kalau mau lebih mudah tapi sedikit mahal, ya naik bus Patas saja dari Bungurasih.
Tapi, kepulangan saya beberapa waktu lalu menempuh cara kedua. Dari bus ke bus, saya menyimak beragam potret manusia. Raut muka lelah pulang kerja. Suara parau menawarkan jajanan sebarang tahu petis atau kerupuk ikan. Bertimpal pula lengking pengamen membawakan lagu-lagu Osing, khas daerah saya.
Warna-warni. Tidak monogram macam naik travel. Sekian banyak warna yang bermain di pelupuk mata itu ada di perjalanan bis ketiga; Probolinggo-Jember. Badan sudah mulai letih di tahap ini. Jadi lebih letih karena rokok di kocek tandas. Tidak keburu tadi membeli sebungkus di terminal.
Bus masih melaju di jalanan Jatirata. Dari bangku belakang (ini tempat favorit saya di bus), mata saya menangkap pedagang asongan sedang menawarkan jualan dari barisan depan. Tapi kepalanya hilang-timbul terhalang bangku. Suaranya juga naik-turun ditelan deru mesin.
Sejarak dua bangku dari tempat saya duduk, baru tertangkap jelas sosok pedagang asongan itu. Bibirnya penuh senyum. Rambutnya jambul. Berselopan tipis berpadukan celana pendek. Saya menantinya penuh harap. Semoga ada Gudang Garam Surya, gumam dalam hati.
"Air, Cak? Rokok? Permen?" pelawanya.
Alhamdulillah. Ada Surya 12 terselip. Setelah membayar, puas sekali bisa ngelepus plus. Lintingan tembakau jadi lebih plus dengan sebuah percakapan mengiringi. Ini mengapa saya memfavoritkan duduk di barisan belakang. Di sini, setiap pedagang asongan berhenti. Sekadar duduk atau berdiri. Menanti laju bus berhenti. Saat-saat sedemikian, saya biasa melibatkan diri dalam sebuah perbincangan.
Pedagang asongan cilik ini memperkenalkan dirinya. Anang. 12 tahun. Duduk di kelas akhir sekolah dasar. "Sudah setahun, Cak, jualan seperti ini," katanya.
Bus-bus besar adalah karibnya sepanjang hari. Tidak ada ketakutan yang menjalar saban lompat dari bus ke bus. Sahabat mana yang rela berkhianat, barangkali begitu prinsipnya. Bersama bus, ia melewati lebih dari 12 bulan yang barangkali bagi anak-anak sebayanya boleh jadi mencekam. "Awalnya ya takut, Cak," ucapnya.
Tapi waktu menguatkan tulang kakinya. Mengajarkan cara paling tepat naik-turun saat bus belum sempurna berhenti. Anang kini sangat piawai soal itu. Dari hasilnya mengasong sepulang sekolah, ada rupiah dibawa pulang ke rumah. Setelah disetor ke ibunya, Anang baru mendapat upah jajannya. "Semuanya aku kasih ke Mamak, Cak. Lha, Mamak kan yang belanja semua ini," tuturnya. Lagi pula, sang ibu adalah mentor yang memberanikan Anang kali pertama mengasong dari bus ke bus.
Oh iya, sepanjang perbincangan tak lepas bibir bungsu dari tiga bersaudara ini mengulung senyum. Barangkali obrolan personal dengan saya ini adalah yang perdana baginya.
Mengasong saja adalah pertaruhan; antara laku dan tidak, ini kan lagi mesti dari bus ke bus. Hujan juga bukan penghalang Anang menangguk pundi-pundi receh. Bila sedang sepi pembeli, sepaling-paling tidaknya ia dapat menjumpai karibnya seprofesi dan juga pengamen-pengamen sepanjang Probolinggo-Jember yang sudah dihapalnya. "Aku kenal semua sama pengamen sini," ujarnya.
Beberapa kilometer di hadapan sudah jelang daerah Tunggul, Jember. Anang tinggal di kecamatan itu. Saya melayangkan pertanyaan pungkasan. "Cita-citamu pingin jadi apa?"
Senyum Anang melebar. "Aku ya ndak tahu. Lha bisa bantu Mamak-Bapak saja sudah senang. Yang penting bisa terus sekolah," jawabnya. Di Tanggul, laju bus melambat. Anang cekatan melesat. Setelah sesaat berucap sepatah kalimat, "suwun yo, Cak."
Saya ingin sekali membalas ucapan itu. Tapi, bus sudah kembali melaju. Sebenar-benarnya, saya yang mesti menerima kasih atas kisah yang lebih mahal dibandingkan selisih harga sebungkus Surya 12, yang jadi laba Anang, sore itu.
Ingatan bacaan saya tiba-tiba berpulang kepada tulisan Cak Sultan berjudul 'Bersekolah di Kendaraan Umum'.
"Di situ (kendaraan umum), saya mampu mengajari mereka (Ken dan Zak, anak-anaknya) bersikap baik dengan orang lain, berbagi, menolong sesama, atau sekadar berterima kasih," tulisnya.

Source: Fatih Muftih

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Dari Bus ke Bus : Sepenimpalan Tulisan Cak Sultan"

Post a Comment